Asa Dari Prostitusi – Cerpen

Aku adalah manusia yang telah di beri nikmat tiada tara oleh Tuhan, hingga aku bisa menikmati perjalanan kehidupanku semanis ini. Tak lepas dari perjuangan Ibuku tak kala sang subuh menyinsing bergerak mendekap pagi selalu bersujud dan berdoa kepada sang Maha Esa untuk kemudahan kesuksesanku.
Kini kehidupanku menjalani Quarter Life Problem, di usia 23 aku akan melanjutkan kehidupanku di sebuah kota besar, kota yang terkenal penuh harap bagi mereka yang akan merantau kesana. Berharap uang untuk menghidupi.

DUA TAHUN BERJALAN
Seperti layaknya mahasiswa kini aku sudah beranjak di semester terakhir, hampir dua tahun kehidupanku aku habiskan berkumpul dengan literasi dan penelitian. Maklum aku mahasiswa yang punya ambisi untuk menjadi terbaik menurutku, selain itu aku dituntun untuk mendapatkan nominal besar pada kolom ijasahku nanti karena aku kuliah di biayai oleh Negara, wajar saja.
Aku mulai bimbang diakhir kuliahku kali ini, kalau dulu setalah SMA aku bisa beralasan untuk melanjutkan ke kuliah Sarjana, Setelah lulus sarjanapun aku masih bisa beralasan untuk melajutkan ke jenjang pasca sarjana. Itu semua aku lakukan untuk dapat beralasan tak bekerja, karena aku tahu kejamnya dunia kerja, sikap munafik dan penuh kepentingan, individual dan rasa saling benci sangat kental dalam dunia kerja. Aku banyak tahu setelah mecoba – coba pekerjaan semasa jadi mahasiswa S1 dulu, maklum aku ini eks aktifis kampus sehingga mudah sekali mencari pekerjaan short time.

Di tengah kekalutan dan kebimbanganku, aku mencoba keluar dari kost, meninggalkan sementara jurnal – jurnal dan kertas penuh bercak tinta printer. Aku jinjing handuk yang mengering dari kasur yang lusuh, berangkat mandi di bilik bedeng kost. Ku gunakan pakaian compang – camping kesayanganku, bukan karena aku tak punya pakaian yang lebih rapi, tapi pakaian itu adalah pemberian Ibuku yang diberikan 5 tahun silam ketika aku mengawali kisah perantauanku di kota ini, hasil jerih payah orang tuaku. 

Aku hanya ada uang recehan, aku bawa dua kartu ATM, “Mungkin nanti berguna kalau mau beli sesuatu dijalan”. Kamar kost aku kunci, kupakai sneker dengan kaos kaki rombeng yang gua idolakan karena merk’nya Converse. Huft gua pikir ini “gue banget”, Maklum di kelas Pascasarjana harus menggunakan pakaian serba rapi, sedikit tertekan.
Aku sengaja berjalan kaki, membebaskan arah langkah, semacam mengulangi peristiwa di gunung untuk terus berjalan menentukan titik abstrak sambil memandangi kejadian di sekitaran jalan. Titik kaki mulai terhenti disebuah taman dekat prostitusi yang kini tutup oleh walikota setempat. Aku pesan kopi sachet Nescafe original favoritku, dari seorang pedagang tua yang mulai mengantuk karena sudah menekati dini hari kala itu, aku seduh sambil melihat banyak muda mudi kota bercumbu.
Aku pasang headset untuk mendegarkan lagu – lagu, sambil berharap datang isnpirasi dari kekalutanku ini, hamper satu jam lebih aku mendengarkan lagu – lagu kesayangan, “Sudah pulang saja” sambil dingin hati ini masih tak ada jawaban. Kuhabiskan kopi dan kusisihkan gelas, dan langsung seketika itu aku disapa bocah laki – laki manis seusia adikku yang baru duduk di bangku Sekolah Dasar. “Mas boleh saya ambil gelasnya?” sambil menunjuk jari bekas gelas kopiku dengan tangan kecilnya. “Ouh ia dek, Kenapa koq masih main toh udah malem, nanti apa gak dimarahi Ibu?”, sapa balasku manis, diam seribu bahasa khas bocah. Lalu aku inisiatif untuk mengantarkan pulang toh kaki ini aku bebaskan berjalan sambil mencari kekalutanku malam ini. Tak lupa aku belikan nasi goreng disepanjang perjalanan kami pulang.

Glek, sambil menelan ludah, aku memasuki kawasan bekas prostitusi yang kini sepi senyap karena ditutup oleh Walikota setempat. Tak ada rasa  takut untuk usia anak sekitar 7 tahunanlah, aku sendiri tidak tau pastinya. di depan rumah sederhana hanya ada satu lampu yang menyala tanganku di tarik untuk berhenti dan “ayo mas masuk, temeni kami“, langsung terbesit di pikriku mungkin kami yang di maksud adalah orang tuanya. Kami masuk rumah dan ada seorang bocah laki – laki ternyata dia adalah kakaknya.

“Mas aku gowo sego goreng di key mas iki, ketoe enak…!!!!”, berubah ekspresis seketika didepan kakanknya yang kala itu belajar dengan sumber belajar yang seadanya.

Kalau tahu gini tak belikan tiga bungkus, gumamku dalam hati. lalu nasi goreng itu kami makan bertiga, hingga sesaat Izka tertidur di ruang tengah karena capek berkeliling mencari sampah plastik. Akhirnya aku ngobrol dengan Bara nama kakak dari bocah yang aku temui di sebuah taman tadi.

Ngobrol banyak kami di selasar rumah, kucecar pertanyaan – pertanyaan seputar kehidupannya. Ternyata Izka dan Bara ini adalah anak yang ditelantarkan. Bapaknya meninggalkan mereka karena tak tahan dengan kelakuan ibundanya yang menjadi pekerja kelamin, sedangkan mereka ikut ibundanya . Dan semenjak di tutup tempat ini (tempat prostitusi ) lima tahun silam, ibunda mereka meninggalkan mereka hanya uang sekitar lima ratus ribu rupiah dan secarcik surat yang bertuliskan “Nak sing sabar ibu ketoe sesok gak moleh“.

Tak ada petunjuk kemana kemana Ibunda pergi, tak ada yang peduli dengan mereka karena sudah tertanam pandangan buruk kepaada mereka karena sang Ibunda yang begitu kalut mencari kesenangan dan nominal uang. Semenjak di tinggal Bara, sang kakak harus menghidupi kebutuhannya dan adiknya yang sudah masuk kelas dus sekolah dasar. Setelah pulang sekolah Bara selalu menuju rumah langgananya untuk mencuci pakaian – pakaian, kadang tak lupa mensisakan sedikit detergen untuk mencuci baju mereka sendiri, Yah menjadi buruh cuci salah satu pekerjaan yang dilakukan Bara. Seakan tahu dengan keadaan keluarganya Izka kadang diam – dima mencari sampah – sampah plastik untuk membantu sang kakak. Kadang Bara melarangnya karena masih sangat belia.

Tapi apa yang mau bisa di perbuat Bara, karena himpitan kebutuhan dan urusan perut kadang Bara hanya bisa menjerit dalam hati melihat Izka keluar diam – diam turun kejalan mencari penghidupan. Itu yang membuat tekad dan motivasi Bara semakin tinggi untuk lulus SMP. Kini Bara mempersipakn Ujian Nasional untuk bulan depan, maklum Bara ini siswa kelas 3 SMP. Walaupun sekolah mereka gratis namun kebutuhan keseharian mereka harus mencari sendiri. Mereka tak mau mencari belas kasih, mereka mau keluar dari belenggu dunia jalanan, seakan mencari mata air dalam keringnya kehidupan.

Aku putuskan itu tinggal disini toh, mereka cuma berdua, kalaupun akau kembali ke kost paling ditemenin printerku yang penuh dengan belepot tinta sisa – sisa kekalutanku malam ini. Aku mulai penasaran bagaimana mereka hidup diatas beban tanpa kasih sayang orang tua.

Subuh menjelang, seperti anak pada umumnya dilakukan setelah bangun tidur, merapikan tempat tidur, sholat, tak lupa Bara belajar dan setelah itu mempersiapkan kebutuhan adiknya.

Tak ada sarapan, tak ada kasih sayang pagi dari Ibu, tak ada kasih sayang pagi dari Ayah. Akupun hanya bisa dingin melihat pilu mereka.

Mereka tinggal pergi akupun pergi.
(Halaman Selanjutnya)

This entry was posted in Tak Berkategori. Bookmark the permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *