Di tengah kekalutan dan kebimbanganku, aku mencoba keluar dari kost, meninggalkan sementara jurnal – jurnal dan kertas penuh bercak tinta printer. Aku jinjing handuk yang mengering dari kasur yang lusuh, berangkat mandi di bilik bedeng kost. Ku gunakan pakaian compang – camping kesayanganku, bukan karena aku tak punya pakaian yang lebih rapi, tapi pakaian itu adalah pemberian Ibuku yang diberikan 5 tahun silam ketika aku mengawali kisah perantauanku di kota ini, hasil jerih payah orang tuaku.
Glek, sambil menelan ludah, aku memasuki kawasan bekas prostitusi yang kini sepi senyap karena ditutup oleh Walikota setempat. Tak ada rasa takut untuk usia anak sekitar 7 tahunanlah, aku sendiri tidak tau pastinya. di depan rumah sederhana hanya ada satu lampu yang menyala tanganku di tarik untuk berhenti dan “ayo mas masuk, temeni kami“, langsung terbesit di pikriku mungkin kami yang di maksud adalah orang tuanya. Kami masuk rumah dan ada seorang bocah laki – laki ternyata dia adalah kakaknya.
“Mas aku gowo sego goreng di key mas iki, ketoe enak…!!!!”, berubah ekspresis seketika didepan kakanknya yang kala itu belajar dengan sumber belajar yang seadanya.
Kalau tahu gini tak belikan tiga bungkus, gumamku dalam hati. lalu nasi goreng itu kami makan bertiga, hingga sesaat Izka tertidur di ruang tengah karena capek berkeliling mencari sampah plastik. Akhirnya aku ngobrol dengan Bara nama kakak dari bocah yang aku temui di sebuah taman tadi.
Ngobrol banyak kami di selasar rumah, kucecar pertanyaan – pertanyaan seputar kehidupannya. Ternyata Izka dan Bara ini adalah anak yang ditelantarkan. Bapaknya meninggalkan mereka karena tak tahan dengan kelakuan ibundanya yang menjadi pekerja kelamin, sedangkan mereka ikut ibundanya . Dan semenjak di tutup tempat ini (tempat prostitusi ) lima tahun silam, ibunda mereka meninggalkan mereka hanya uang sekitar lima ratus ribu rupiah dan secarcik surat yang bertuliskan “Nak sing sabar ibu ketoe sesok gak moleh“.
Tak ada petunjuk kemana kemana Ibunda pergi, tak ada yang peduli dengan mereka karena sudah tertanam pandangan buruk kepaada mereka karena sang Ibunda yang begitu kalut mencari kesenangan dan nominal uang. Semenjak di tinggal Bara, sang kakak harus menghidupi kebutuhannya dan adiknya yang sudah masuk kelas dus sekolah dasar. Setelah pulang sekolah Bara selalu menuju rumah langgananya untuk mencuci pakaian – pakaian, kadang tak lupa mensisakan sedikit detergen untuk mencuci baju mereka sendiri, Yah menjadi buruh cuci salah satu pekerjaan yang dilakukan Bara. Seakan tahu dengan keadaan keluarganya Izka kadang diam – dima mencari sampah – sampah plastik untuk membantu sang kakak. Kadang Bara melarangnya karena masih sangat belia.
Tapi apa yang mau bisa di perbuat Bara, karena himpitan kebutuhan dan urusan perut kadang Bara hanya bisa menjerit dalam hati melihat Izka keluar diam – diam turun kejalan mencari penghidupan. Itu yang membuat tekad dan motivasi Bara semakin tinggi untuk lulus SMP. Kini Bara mempersipakn Ujian Nasional untuk bulan depan, maklum Bara ini siswa kelas 3 SMP. Walaupun sekolah mereka gratis namun kebutuhan keseharian mereka harus mencari sendiri. Mereka tak mau mencari belas kasih, mereka mau keluar dari belenggu dunia jalanan, seakan mencari mata air dalam keringnya kehidupan.
Aku putuskan itu tinggal disini toh, mereka cuma berdua, kalaupun akau kembali ke kost paling ditemenin printerku yang penuh dengan belepot tinta sisa – sisa kekalutanku malam ini. Aku mulai penasaran bagaimana mereka hidup diatas beban tanpa kasih sayang orang tua.
Subuh menjelang, seperti anak pada umumnya dilakukan setelah bangun tidur, merapikan tempat tidur, sholat, tak lupa Bara belajar dan setelah itu mempersiapkan kebutuhan adiknya.
Tak ada sarapan, tak ada kasih sayang pagi dari Ibu, tak ada kasih sayang pagi dari Ayah. Akupun hanya bisa dingin melihat pilu mereka.
Mereka tinggal pergi akupun pergi.
(Halaman Selanjutnya)