Di bedeng kostku yang berantakan dengan literasi untuk disertasiku, aku mulai ingin istirahat kala melihat mereka Ihza dan Bara berjuang menyambung hidup, Aku ingin membantu mereka setidaknya ada yang aku perbuat secara nyata untuk mereka. Aku dulu Aktifis mahasiswa yang hanya menyuarakan tuntuntan entah demo, atau sebar Flyer itupun ada maksud dan tujuan tertentu agar aku makin banyak memiliki masa yang akan menyongkong suara kandidat yang ditetapkan oleh Organisasiku naik ke pemilu entah itu BEM Fakultas ataupun BEM Universitas.
Kadang aku di undang oleh beberapa legislatif untuk membantu mereka Reses, mengumpulkan laporan, laporan, laporan agar dapat digunakan membangun daerah legislatif tersebut. Mulia bukan?, “Anjing” gua bilang itu semua pencitraan semata, mereka resespun karena formalitas, Kadangpun programnya seadanya. Aku beranjak memebersihkan Kamar dan berangkat ke Pasar untuk membeli sayur mayur, Setelah aku pulang langsung ke dapur. Gak biasanya gua kedapur, seakan aku ingin memasak makanan favoritku ketika mendaki gunung. Krengsengan daging yang dimasak setengah basah ditaburi dengan bawang goreng dan lada hitam pedas manis gurih, Yah makanan inilah yang selalu mengingatkan aku akan kehidupan berat di gunung, Selalu aku ingat bagaimana capeknya digunung.
Makanan sudah siap aku istirahat dan mandi, Jam menunjukkan pukul dua siang. Aku bergegas ketempat mereka sengaja aku pakai sepeda bututku yang sudah berbulan – bulan tak pernah terpakai, sepeda ini adalah pemberian dari kakak angkatanku yang kini sudah kembali ke kampung halaman.
Bener fellingku jam setengah tiga aku nyampe dan mereka berdua sudah dirumah, aku bawakan nasi dan sayur favoritku. Aku sengaja bilang mereka agar hari ini tak bekerja aku ingin setidaknya meringankan beban mereka.
Aku ajak mereka ke taman dekat rumah, Maklum tempat prostitusi seperti ini banyak sekali taman, aku putuskan ke sebuah taman dekat pertigaa. Bercengkrama sembari berbaur dengan masyarakat, aku ingin tahu apa yang mereka butuhkan, “Aish” aku sok sok’an banget. Aku sendiri belum kerja masih mengandalkan uang beasiswa dan uang hasil tabungan pekerjaanku yang aku tinggalkan.
“Mas ini pesenannya kopi, dan es teh” sambil memberikan baki kepada kami yang lesehan. “Loh ini kan anaknya Mbak Widia”, aku tertegun sejenak siapa itu Ibu Widia?. Toh Izka dan Bara diam saja. Oke sengaja aku abaikan ibu – ibu ini, karena aku melihat Ihza dan Bara tak nyaman ketika nama tersebut di sebutkan.
Waktu menunjukkan pukul enam sore, matahari mulai tenggelam suasana mulai di dekap dingin. Aku hanya ngobrol agar mereka terhibur dengan adanya kehadiranku.